Mendiang Kakek

Aku ingin bercerita tentang mendiang kakek. Waktu kecil hingga beliau menutup usia memang banyak menghabiskan waktu dengan beliau. Sampai sekarang juga masih, bedanya kalau sekarang menghabiskan waktunya di samping pusara kakek kalau sedang pulang ke Jogja.


Banyak momen yang berkesan bersama mendiang kakek.

Duduk di depan tungku tanah liat milik kakek setiap pagi, sambil menunggu giliran mandi sebelum berangkat ke sekolah, sambil menunggu air yang sedang direbus mendidih. Sesekali memasukkan kayu bakar agar api tetap menyala.

Ikut pergi ke sawah atau ke kebun beliau; menanam kacang tanah, memanen cabai merah, memetik ceri kopi yang sudah memerah di kebun, mengiris daun tembakau yang dipanen dengan alat irisan raksasa lalu dijemur untuk nantinya dijual ke padagang pasar, dan lain-lain. Memang kalau sama kakek, lebih banyak waktu dihabiskan bersentuhan dengan alam. Bahkan sekedar hanya duduk di atas tanah di kebun sambil bermain dakon (atau banyak yang menyebutnya congklak), permainan tradisional yang mungkin anak-anak kecil sekarang sudah jarang memainkannya. Masih ada, tapi sudah jarang.

Dari kakek, aku belajar untuk hanya duduk diam dan melihat sekitar.

Dari duduk diam, kita bisa merasa bahagia dari suara gemeletak kayu bakar yang terbakar api di tungku.

Dari duduk diam, kita bisa merasa bahagia dari suara ranting dan daun di pohon yang bergesekan karena tertiup angin.

Dari duduk diam, kita bisa merasa bahagia melihat orang-orang di sekitar sedang bercengkrama.

Terkadang kita sibuk mencari gimana biar merasa senang/bahagia, padahal sudah ada, banyak di sekeliling kita. Hanya butuh untuk duduk diam sebentar.

Rasa Syukur

Jika untuk bisa bersyukur kita mengambil dari pendekatan "membandingkan nasib". Membandingkan nasib/kondisi kita dengan orang lain...

Powered by Blogger.