Atma

        Pagi ini air langit mengguyur lembut. Pemandangan nampak seolah dilingkupi tirai putih, gloomy, namun tidak mencekam. Justru ada kedamaian yang begitu tenang. Masih bisa kurasakan aura kehidupan dan energi alam yang saling bersautan.

 

Sama sepertiku.

Menyapa pagi.

 

Ritual ini memang sudah menjadi bagian hidupku hingga saat ini dan selalu berhasil menyelamatkanku. Menyapa pagi dengan secangkir teh hangat sambil melamun, membaur dengan irama alam. Melihat dedaunan hijau menari dalam hujan gerimis yang syahdu. Mendengarkan ranting-ranting pohon yang saling melempar canda dan tertawa riang bersama hujan dan angin. Suara derai hujan menyentuh atap-atap rumah. Aroma hujan dalam pertemuan, buah dari penantian yang datang menyampaikan kerinduan pada bumi. Aku menikmatinya. Pagi yang begitu hidup. Menyenangkan.

 

Perasaan terkoneksi yang lama aku rindukan akhirnya kembali lagi. Menyatu dan menari seirama dengan tarian alam. Batinku kembali terhubung setelah melalui perjalanan panjang yang sepi, gelap dan menyakitkan.

 

Pertanyaannya,

apakah menyesal bertemu dengannya dan mengalaminya?

 

Tidak sama sekali, jawabku.

 

Mungkin sebagian orang tidak akan dengan mudah menerima jawabanku yang begitu ringan terucap dengan kalimat “tidak menyesal sama sekali”. Aku memaklumi perbedaan ini. Setiap manusia punya perjalanan yang membentuk cara pandangnya masing-masing dalam memaknai suatu hal. Mereka hanya tidak memahami sepenuhnya perjalanan rasa yang sudah aku lalui hingga berlabuh pada titik dimana aku tetap memilih cinta. Memang begitu kan yang Tuhan ajarkan? Cinta.

 

***

 

Di suatu pagi yang lain, dalam goresan waktu yang tersimpan pada bilik kepalaku.

 

Aku turun dari mobil. Pagi itu cukup cerah, bahkan sedikit terik. Pandanganku melayang, badanku seperti terbang. Ringan yang berat.

 

Kotak kecil itu datang bersama pagi, tepat ketika kakiku mencoba memijak tanah dalam keletihan. Tidak disangka kedatangannya membawa hujan deras dan badai sekali lagi. Batinku seketika mencekam dan kehilangan keberadaan diri ketika aku membukanya. Aku terhisap dalam kotak kecil itu. Rasanya seperti sedang dijatuhkan dari tebing yang tinggi. Aku mencoba menggapai pegangan dari batang-batang pohon di pinggiran tebing, namun tidak berhasil. Peganganku lepas dan aku terjatuh ke dalam samudera yang dalam. Terhisap dalam pusaran arus yang kencang dan terus tenggelam. Dalam.

 

Sekali lagi. Kubiarkan diriku terhisap dalam. Aku tahu akan menyakitkan dan penuh tekanan, tapi apa yang bisa aku lakukan?

 

Apa aku sudah mati? Tanyaku pada diri.

Rasanya seakan mati rasa dalam satu kedipan mata. Kedatangan kotak yang dinantikan justru begitu menenggelamkan dan menyakitkan.

 

Hanya ada satu kata dalam kepalaku, mewakili apa yang baru saja terjadi. “Jahat”

 

Begitu jahat, hingga sistem di kepalaku kebingungan menentukan entah siapa dan apa yang jahat. Aku tahu pasti, tentu bukanlah Tuhan. Pengirim kotak itu yang jahat? Ataukah kotak kecil itu yang jahat? Atau bisa jadi diriku pun juga jahat? Hanya satu kata itu yang terdeteksi dari sisa-sisa sensor kognitifku yang belum membeku kedingingan. Selebihnya aku kehilangan analisaku, aku kehilangan kemampuan mengenali emosi-emosi dan perasaan yang muncul saat itu. Terlalu riuh bercampur baur menjadi satu memenuhi ruang dalam diriku. Sesak.

 

Tuhan, kali ini terlalu berat. Kataku dalam hati.

 

Aku kehilangan respon alami badan manusiaku. Apakah aku harus menangis, apakah aku harus marah, apakah aku harus berteriak atau apa?

 

Diam dan kosong.

 

Hanya diam dan kosong pada akhirnya. Ataukah memang begitu adanya respon alaminya? Kosong, senyap dan hening. Aliran udara di sekelilingku seperti terhenti namun aku menggigil kedinginan. Aku seperti berada dalam ruang kedap udara dan suara.

 

Apakah aku sudah mati? Aku bertanya sekali lagi.

 

Dalam ketidakberdayaanku, aliran itu mengalir pelan. Aku merasakan kehangatan hadir perlahan seperti cahaya peraduan yang lembut di tengah malam. Mencairkan kebekuan yang menyelimuti atma terdalam.

 

“Kau sudah datang?” suara itu bergema dalam keheningan. Aku mengenalnya, aku mengenal suara itu. Suara menenangkan dan penuh cinta yang lama tak kudengar.

 

Seperti pintu yang akhirnya terbuka, kerinduan yang lama tertahan itu akhirnya meluber tumpah seperti air bah. Aku menangis sejadi-jadinya.

 

“Aku sengaja menenggelamkanmu,” lanjutnya, “kau sedang dimatikan untuk dihidupkan kembali. Perjalanan ini tidak akan mudah dan penuh luka tapi tenang kau bisa melewati perjalanannya. Selalu bisa melaluinya. Sama seperti yang pernah kau lalui sebelumnya. Aku selalu membersamaimu dalam kesadaran. Menemukan kembali jalan pulang.”

 

“Rumahmu akan lebih hangat dari sebelumnya,” tambahnya.

 

Di titik itu aku menyadari bahwa yang harus aku lakukan hanya melewatinya, menyelami samudera itu, seperti yang sudah pernah aku lakukan. Mengikuti aliran sungai namun tidak hanyut. Menepi pelan-pelan untuk terhubung kembali. Pulang ke rumah dalam nyala.

 

Hai, lama tak berjumpa,” sapaku, “terimakasih sudah menghidupkankan. Dampingi aku dalam kesadaran, seperti yang sudah-sudah.”

 

Seperti yang selalu diyakini bahwa,

 

“Yang tercipta oleh cinta akan menjadi cinta, memenuhi rumahnya dengan cinta dan membagikan cinta untuk sekelilingnya.”

 

***

 

Sudah kuputuskan. Dan selalu dengan jawaban yang sama. Aku memilih mencintai. Bukan membenci. Untuk yang lalu, saat ini, maupun nanti.

 

Kukirimkan surat untuk-Nya, seperti pagi-pagi biasanya.

 

Kepada Penciptaku yang penuh cinta,

Terimakasih sudah mencipta dengan cinta. Menyadari bahwa material pembentukku bukanlah partikel-partikel kebencian melainkan partikel-partikel cinta, membuatku merasa bernilai meski tidak semua bisa melihat ataupun menghargainya. Menyadari bahwa nilai yang penuh adiwarna itu sudah ada sejak awal penciptaanku, membuatku sekali lagi merasa cukup. Menyadari bahwa qodar-Mu yang tidak pernah tidak indah, membuatku selalu bisa berjalan dan menemukan kembali rumahku yang hangat.

 

Kuminum teh dalam cangkir itu kembali. Aku akhiri ritual pagiku untuk hari ini. Sampai bertemu di esok hari dan kita akan berdialog lagi.

 

Kau yang bersemayam dalam rumahku yang hangat oleh cinta. Atma.

Atma

         Pagi ini air langit mengguyur lembut. Pemandangan nampak seolah dilingkupi tirai putih, gloomy, namun tidak mencekam. Justru ada ...

Powered by Blogger.