Mencintai Diri dengan Utuh
By kirdianis
Read
Aku ingin memulainya dari suatu kalimat ini, mungkin kita semua sering mendengar ataupun mengalaminya:
"Kita seringkali memberikan toleransi lebih kepada orang lain, namun tidak ke diri kita sendiri."
"Kenapa kita bisa dengan mudah tidak mempermasalahkan kesalahan kecil dari orang lain, akan tetapi jika sebaliknya, diri kita yang melakukan kesalahan kecil tersebut, kita justru menjadikan itu sebagai masalah bagi diri kita?"
"Kenapa jika kita sudah terlalu menyalahkan diri sendiri kita akan merasa sangat sedih? Merasa bahwa kita sudah jahat kepada diri sendiri"
Yang artinya bahwa kita seringkali tanpa sadar memperlakukan diri sendiri lebih keras dibandingkan orang lain. Ketika orang lain berbuat salah kita akan lebih mudah memaafkan orang tersebut dibanding ketika kita melakukan kesalahan. Tidak jarang ketika orang lain yang melakukan suatu kesalahan kecil kemudian kita bilang ke orang tersebut, "Gak apa-apa. No worries". Akan tetapi begitu giliran diri kita sendiri yang melakukan kesalahan, seberapa sering kita bilang ke diri kita seperti apa yang kita ke orang lain tersebut? "Gak apa-apa. No worries".
Padahal mungkin saja permasalahan utamanya sebenarnya bukan apakah itu benar atau salah dalam perspektif tertentu, namun sesuatu yang lain di luar itu.
Oleh karena terlalu dekat, terkadang justru menjadi tidak terlihat. Itulah diri sendiri.
***
Suatu sore sepulang dari kantor.
Jarak antara kantorku dan tempatku tinggal tidak begitu jauh, kurang lebih berjarak sekitar 1,5 km, sehingga seringkali aku memilih untuk berjalan kaki dari kantorku ke tempat tinggalku, karena bagiku di saat itulah aku memberikan jeda bagiku untuk mengistirahatkan pikiranku. Ya tentunya bukan yang kemudian tidak memikirkan sesuatu, tetapi lebih membuka ruang pikiranku untuk bekerja secara alami merespon kesadaran yang muncul sepanjang perjalananku. Memberikan ruang kesadaran dan membebaskan apa saja yang muncul untuk bertamu secara sadar apa yang saat itu sedang terjadi di sekelilingku; yang aku lihat, cium, dengar, rasa.
Sore itu seperti biasa saya berjalan kaki, cuaca sore itu memang tidak terlalu panas dan sedikit mendung. Di tengah perjalanan awan mendung itu menunjukkan tanda-tanda akan turun hujan tidak lama lagi dan aku masih perlu berjalan kaki menuju tempat tinggalku.
Aku menyadari bahwa ternyata payung yang aku bawa ke kantor tidak ikut terbawa pulang, tertinggal di meja kerjaku. Anehnya, saat itu aku tidak terganggu sama sekali dengan aku yang lupa membawa payung tersebut, padahal hujan seperti tinggal menunggu ia diperintahkan oleh Tuhan untuk turun, aroma hujan sudah tercium dari angin yang berhembus sepanjang jalan.
"Oke.. Aku mengakui memang lupa membawa payungku. Tidak apa-apa, karena memang lupa dan sudah terjadi. Jika memang akan turun hujan ya akan turun pada waktunya turun hujan nanti. Aku akan menyambutnya. I'll embrace you if you come down. Namun, yang saat ini sedang aku alami adalah aku yang sedang berjalan kaki, awan di atasku mendung, itulah yang saat ini" kataku dalam hati saat itu.
Saat itu aku merasa ringan dan aku justru merasa bahagia tanpa kekhawatiran walaupun aku tahu bahwa jika di tengah perjalananku kemudian hujan turun, ya aku akan kehujanan atau aku akan harus menepi untuk beteduh.
Aku tidak menyalahkan bagian dari sendiri yang terlupa membawa payung dan aku juga tidak menyalahkan bagian diriku yang berusaha menyalahkan bagian diriku yang lupa membawa payung, karena dua respon itu merupakan bagian dari diriku. Aku mengakui keberadaan mereka dan mereka berdua itu adalah respon alami dari proses di dalam diri dari apa yang aku lihat, dengar, dan rasa. Selalu ada dua sisi berlawanan yang selalu muncul untuk menemukan keseimbangan, bukan? Tugas dari aku dengan kesadaran ini adalah yang menyadari keberadaan mereka, mendengarkan, dan memahami apa mereka berdua rasakan, kemudian memberikan ruang dalam diri.
Saat itu aku yang dengan kesadaran merasa kasihan pada bagian diriku yang merasakan kekhawatiran jika nanti ia akan disalahkan atas kesalahan kecil yang dia lakukan, sedangkan bagian diriku yang lain juga ingin diakui bahwa dia menyalahkan bagian diriku yang lain karena kurang fokusnya sehingga membuatnya lupa membawa payung, namun jika aku lebih memperhatikan salah satu dari mereka tentunya yang lain akan berusaha lebih kuat membuatku memperhatikannya juga.
Ini analoginya seperti ada dua anak kecil yang ingin menunjukkan keberadaannya dan ingin diperhatikan olehku. Mereka akan mencoba melakukan sesuatu sesuai karakternya untuk menunjukkan dirinya kepadaku bahwa mereka ada agar aku melihat dan memperhatikan mereka berdua. Mereka sebenarnya hanya ingin diakui keberadaannya dengan seimbang. Itulah kenapa ketika kita merasa terlalu menyalahkan diri sendiri, kemudian kita akan merasa sedih dan jahat pada diri sendiri karena sudah terlalu menyalahkan diri. Begitu juga sebaliknya, jika kita sudah terlalu melarang diri sendiri karena menurut kita yang lain hal itu adalah sisi yang tidak baik dari diri kita, kita pun akan merasa sedih dan jahat pada diri sendiri karena keberadaannya seperti tidak diakui dan ditolak oleh diri kita sendiri, padahal dia ada.
Di sinilah aku yang dengan kesadaran yang akan mengakui keberadaan semuanya dan memberi cinta kasih dengan seimbang kepada bagian-bagian diriku tersebut. Terlepas dari mana yang sisi baik dan tidak baik, keduanya hanya ingin disadari keberadaannya dan ingin dicintai sebagaimana mereka adanya dan disitulah mereka akan merasa nyaman dan bahagia. Bahagia dengan utuh karena semua bagian diri merasakan kebahagiaan yang sama.
Itulah kenapa memaafkan diri sendiri dan berterima kasih kepada diri sendiri adalah bagian yang penting; karena dengan itu kita dapat membagi cinta kasih kita kepada semua bagian diri yang ada dalam diri kita. Tentunya dengan menyadari keberadaan semua bagian diri kita dahulu.
"Karena sebelum kita bisa menerima bagian-bagian diri kita dengan apa adanya, kita perlu menyadari bagian-bagian diri kita terlebih dahulu untuk mengetahui kepada siapa saja kita akan memberi cinta kasih kita dengan seimbang. Sehingga kita dapat mencintai diri kita dengan utuh."
Ini hanya contoh kecil dari respon alami batin kita. Mencoba mengamati apa yang terjadi dalam batin dari kejadian lupa membawa payung. Bahwasanya sebenarnya kita memiliki bagian-bagian diri yang perlu diakui keberadaannya dalam diri terlepas dari itu sisi baik atau sebaliknya menurut perpektif tertentu.
Mencintai Diri dengan Utuh
Reviewed by kirdianis
on
May 11, 2022
Rating: 5