Manusia dan Selubungnya

Aku bertemu sesosok manusia di tengah perjalananku menyusuri hutan yang sunyi untuk menemui bunga Lily bulan Mei. Ia mengirimiku pesan untuk menemuinya di hutan itu.

Sesosok manusia itu terduduk di bawah pohon tua yang besar. Meringkuk. Dipeluknya lutut-lutut kakinya, ia tertunduk ke bawah. 

Gelap dan sepi.

Ada dorongan dalam diri yang mengatakan untuk mendekatinya.

Aku merasakan dirinya yang penuh dengan ketakutan. Semakin aku mencoba merasakan dan melihatnya lebih dalam, bukan ketakutan yang aku rasakan pada lapisan terluarnya, justru kekhawatiran yang bergerak terlalu acak hingga menutupi seluruh badan dan pandangannya. 

Di dalam hati aku bertanya, apakah dia sedang tersesat? atau sedang tertahan? ataukah memang tinggal di hutan ini?

Aku mencoba merasakan dan melihatnya lebih dalam untuk mencari tahu apa yang membuatnya sebegitu khawatirnya hingga ia hanya bisa duduk meringkuk di sana, tanpa mencoba untuk keluar.

Aku mendekat untuk melihatnya lebih dekat. Manusia itu tetap menunduk hanya melihat genangan air di bawah kakinya yang merefleksikan dirinya. Ia seolah-olah tidak menyadari kedatanganku. Atau memang dengan sengaja tidak ingin berinteraksi denganku?

Beberapa kali kekhawatiran dalam bentuk benang-benang yang menyelubunginya tersebut mengencang. Ia berusaha menolaknya dengan keras, namun selubung itu justru semakin kuat. Semakin ia berusaha menghilangkan dan menolak selubung itu, semakin selubung itu mengikatnya dengan kuat, hingga akhirnya melonggar dengan sendirinya ketika ia tidak berusaha melawan karena kelelahannya.

Kesakitan. Kelelahan. Keputus-asaan.

Rasa itu beresonansi kepadaku seperti garpu tala.

Aku mencoba merasakan lebih dalam lagi. Seperti yang sebelumnya aku rasakan, memang ada ketakutan dalam kekhawatiran.

Ketakutan akan penolakan.
Ketakutan jika manusia lain akan terluka.
Ketakutan menyakiti manusia lain.
Ketakutan menjadi beban manusia lain yang menolongnya.

Bahkan ada ketakutan ketika aku berjalan mendekatinya. Bukan karena takut kepadaku, namun ketakutan jika ia akan menyerangku di luar kendalinya.

"Jangan mendekat atau aku akan membunuh kita," bisiknya lirih.

"Kau ingin bebas?" ungkapku, "Aku ingin membantumu."

Ia hanya diam saja.

Aku mendekatinya kembali dan duduk bersimpuh di depannya.

Kucoba menyentuh selubung gelap itu, ia mengencangkan balutannya.

Pada saat itu aku menyadari sesuatu bahwa yang merasakan ketakutan dan kekhawatiran bukan hanya manusia itu namun sama halnya dengan selubung gelap itu. Yang merasakan ingin melindungi bukan hanya manusia itu, namun juga selubung gelap itu.

Mereka hanya ingin saling melindungi dan keduanya takut akan penolakan akan masing-masingnya.

"Kau ingin bebas?" tanyaku kembali sambil kusentuhkan tanganku ke selubung gelap itu.

Ia terdiam.

Tetesan air jatuh ke genangan di bawah kakinya. Ia menangis. Keduanya menangis.

Seketika kupeluk keduanya; ia dan selubung gelap itu.

"Aku memahami dan menerima kalian sebagaimana kalian. Apa adanya," kataku kepada mereka.

Perlahan selubung itu mengeluarkan cahaya putih, benang-benang hitamnya perlahan berubah menjadi garis-garis cahaya putih yang damai dan menenangkan. Ia muncul dari balik selubung itu dan berubah menjadi bunga Lily bulan Mei yang aku cari. Menyerahkan kotak kecil berwarna putih kepadaku.

"Terimakasih," kata mereka kepadaku.

"Aku yang berterimakasih kepada kalian. Keberadaan kalian," balasku.





Rasa Syukur

Jika untuk bisa bersyukur kita mengambil dari pendekatan "membandingkan nasib". Membandingkan nasib/kondisi kita dengan orang lain...

Powered by Blogger.