Anak Berkaki Merah

Ini kisah dari seorang anak berkaki merah yang tinggal tak jauh dari kota berlangit warna-warni seperti lolipop.

Saat itu adalah malam yang tenang di bulan Agustus. Aku tak kunjung bisa tertidur dan tidak sengaja bertemu dengan anak berkaki merah dari suara yang membawaku ke dalam gorong-gorong kota. Aku mendengar dan mengikuti suara nyanyian malam yang semakin didengar semakin tak seperti nyanyian melainkan bunyi-bunyian seperti orang yang sedang memukul-mukul dinding terowongan saluran air itu. 

Aku penasaran dan mengeceknya.

"Ada orang di dalam?" teriakku.

Suara itu berhenti.

Aku berhenti. Suara itu muncul lagi.

Kembali aku berteriak ke dalam gorong-gorong, "Ada orang di dalam?"

Suara itu berhenti lagi.

Aku masuk ke dalam terowongan saluran air itu karena penasaran. Aku melihat seorang anak kecil dengan kaki merah diam melihat ke arahku.

"Apa kau baik-baik saja? Mengapa kau ada di dalam sini?" tanyaku.

Dia tetap diam kemudian berjalan ke arahku. Setiap dia berjalan ada suara dentuman dari bawah kakinya yang tak lama kemudian muncul tanaman berduri yang menjalar dan merambat menjadi alas langkah berikutnya.

"Kenapa kau di sini?" tanyanya padaku.
"Aku mendengar suara dentuman dari arah saluran air" jawabku.
"Kau mendengarnya?" tanyanya.
"Iya," kataku.
"Apa kau juga akan marah padaku? atau mengganggapku tidak wajar?" tanyanya lagi.

"Tidak," jawabku, "Aku hanya penasaran."

"Orang-orang di atas juga mendengarnya, tapi mereka mengabaikannya dan kembali tidur menganggap itu hanyalah suara malam biasa. Atau mereka yang mengetahui keberadaanku kemudian marah-marah, karena aku mengganggu malamnya. Orang-orang itu memanggilku monster gorong-gorong," ujarnya.

Aku menunjuk kakinya yang merah, "Itu. Apakah kau tak sakit?"

"Ini? apakah yang seperti ini sakit?" dia menunjukkan kakinya yang merah-merah penuh luka oleh sebab berjalan di atas tanaman berduri yang menjadi alasnya itu.

"Ya. Aku akan merasakan sakit," kataku.
"Kau yang merasakan sakit," katanya.

"Lalu kenapa kau berjalan di dalam gorong-gorong, sedang kau bisa saja berjalan di jalanan umum seperti biasa?" tanyaku padanya.

"Mereka terganggu, mereka tidak biasa, sebagian dari mereka mengasihaniku," jawab si anak berkaki merah, "Sebagian yang lain tidak menyukaiku, mereka takut aku akan menyakiti anak mereka. Mereka tidak suka suara dentuman tanaman berduri ini, katanya seperti orang yang sedang mengamuk dan memukul dinding dengan keras. Tapi aku tahu, mereka hanya tidak mengerti."

"Kau selalu seperti ini? bejalan di atas tanaman beduri?" tanyaku masih penasaran.

Si anak berkaki merah tidak menjawab pertanyaanku.

"Kau mau ikut ke rumahku? mungkin kau akan mengerti. Rumahku ada di ujung terowongan ini" ajaknya, "Pakai dulu alas kakimu, perjalanan ini akan semalaman melewati gorong-gorong bersamaku," dia menunjuk kakiku yang tak beralaskan sepatu.

Aku cepat-cepat kembali ke atas mengganti alas kakiku dengan sepatu dan mengikutinya.

......

Aku berjalan di belakangnya, tanaman berduri masih menjadi alas jalan kami. 

Aku tidak merasakan sakit karena terlindung oleh sepatuku. 

Kami berjalan menyusuri terowongan semalaman. Tak lama aku melihat cahaya pagi, ujung terowongan sudah terlihat di depan kami.

Kami keluar dari terowongan saluran air.

Di ujung terlihat sebuah rumah dengan jalanan penuh tanaman berduri, sama seperti tanaman berduri yang menjadi alas jalan di terowongan saluran air. Ayah dan ibunya nampak sedang sibuk di dapur menyiapkan sarapan pagi. Si anak berkaki merah berlari di atas jalanan berduri seperti tak ada yang menyakitkan. 

"Ayah, Ibu, aku membawa teman," katanya riang kepada mereka berdua dan menunjuk kepadaku.

Aku memasuki rumahnya. Tanaman berduri itu juga menjadi lantai rumahnya. 

"Selamat datang di rumahku," katanya sambil menari-nari riang di atas lantai berduri itu, yang membuatku masih terdiam melihat pemandangan yang tidak biasa dan bagiku tampak menyakitkan.

Perjalanan semalaman bersama anak berkaki merah, membuatku merenungkan kembali pertanyaan dan anggapanku kepada si anak berkaki merah tentang rasa sakit.

Jangan-jangan sebenarnya memang tidak ada yang tidak wajar.


Rasa Syukur

Jika untuk bisa bersyukur kita mengambil dari pendekatan "membandingkan nasib". Membandingkan nasib/kondisi kita dengan orang lain...

Powered by Blogger.