Kotak Kaca (dan Ujung Ilalang)


Sayup-sayup pendaran cahaya itu membelaiku dengan lembut, diantara helaian ilalang yang berayun di atas kepalaku.


Ku buka mataku. Setengah sadar ku tatap kubah besar di atasku. Kukerjap-kerjapkan kelopak mataku sembari mengumpulkan kesadaran dan memunguti serpihan-serpihan nyawa yang masih berceceran.


"Dimana?", kataku dalam hati. Diam dan hening. Mencoba menebak keberadaanku dalam kesadaran yang belum cukup penuh.


Tiba-tiba saja cuplikan-cuplikan gambar bermunculan dalam kepalaku dengan cepatnya. Malam. Lampu-lampu. Tenda-tenda putih. Kerumunan orang. Orang itu. Kotak itu. Dan akhirnya menghisap dan melemparkanku ke dalamnya di antara hamparan ilalang. Langit biru. Senja keemasan. Sungai langit.

...


Ya!


Aku masih dalam kotak misterius itu, mencoba menyusuri kedalamannya hingga tanpa sadar tertidur kemudian terbangun. Pagi ini.


Kuusap mukaku dan seketika berajak dari tempatku tertidur malam lalu. Kulanjutkan perjalanan mengenal kotak kaca satu ini. 


Perjalanan berlanjut di tengah hamparan ilalang yang seperti tidak ada ujungnya. Ragaku mungkin bisa lelah tapi jiwaku sebaliknya. Bukannya menyerah namun tetap berjalan menyusurinya seperti ada kekuatan magis yang mendorongku berjalan, terus berjalan. Ada kekuatan magis yang membisikkan ke telingaku bahwa ada sesuatu dibalik hamparan ini, hamparan ilalang; pintu masuk. Ini hanyalah pintu masuk, selimut yang lembut dan damai. Seorang seperti mengirimkan sebuah pesan itu padaku bahwa ada banyak hal yang harus kutemukan dibaliknya.


Entah berapa langkah. Ajaibnya tidak ada tekanan, kesedihan dan kemarahan yang muncul oleh sebab tak kunjung ini berujung, bahkan di depanku pun hanyalah cakrawala yang sama yang seperti tiada ujung. Aku dengan sukarelanya tetap berjalan. Menikmati dan menghargai kedamaian yang ingin ditunjukkan padang ilalang ini tanpa mengusiknya dengan keresahan dan kemarahan. Aku mengikutinya. 


Bukan. 


Dia membawaku dengan tenang.


Langkahku masih berlanjut. Satu, dua, tiga, empat, lima, ........ satu juta tiga ratus enam puluh sembilan ribu tiga ratus delapan belas langkah.


Aku berhenti. Mataku mendadak kabur. Pandanganku putih, seperti kabut yang mendadak muncul melingkupi, menutupi pandanganku dari arah depan. Dia menembusku dengan lembut.


Hangat. Mataku terpejam; dan kubuka kembali.


Aku terdiam. 


Pemandangan mendadak tergantikan oleh yang lain. 


"Selamat datang, ayo ikut, akan kutunjukkan sesuatu", teriaknya dengan penuh keceriaan.

.......


Rasa Syukur

Jika untuk bisa bersyukur kita mengambil dari pendekatan "membandingkan nasib". Membandingkan nasib/kondisi kita dengan orang lain...

Powered by Blogger.