Kotak Kaca (dan Ilalang)
Berbarislah benda-benda beratap kerucut, di bawah
naungan kubah hitam raksasa. Begitu meriah; tertangkap oleh indera-indera dalam badan yang cukup lelah ini oleh perjalanan
mengitari malam.
Baliho, spanduk, bohlam-bohlam lampu di
setiapnya, keindahan dalam kaca-kaca yang menyimpan ramuan kerinduan dan
keceriaan, suara yang saling saut-sautan yang beralun dan menggema dalam
telinga secara acak, gelak tawa mereka yang sedang bercengkrama, sekumpulan
yang sedang berjalan dengan matanya yang mencari kira-kira dimanakah mereka akan singgah.
Terlalu hidup, kataku. Aku bahagia,
namun juga khawatir. Rasa khawatir akan sekarat yang bergelayut dan berayun di antara yang terlalu hidup dan acak. Dan ternyata malam ini bukanlah malam biasanya; diri ini dengan ajaibnya masih bisa bertahan tanpa terusik
oleh apapun yang berterbangan di sekeliling semua inderaku saat itu. Aku terus
berjalan, berjalan dengan rasa penasaran akan keanehan yang baru saja muncul.
Aku berjalan, seperti mereka, mencari tempat di mana aku akan singgah barang
sebentar.
Di situlah aku
menemukannya lagi.
Kotak kecil yang terbawa
oleh manusia di seberang sana, terbalut keramaian, namun juga dalam ketenangan yang
sunyi dihiasi olehnya yang sangat bersahabat dengan sejarah dan cerita-cerita
kehidupan. Dan dia yang lain, yang tak berdetak, tak bergerak, namun bercerita
dalam diam di tengah keramaian.
Seketika saja kotak itu
berada dalam genggaman. Bagaimana bisa? apakah aku tadi memintanya? ataukah
diberikanya padaku?
Sungguh! dangkalnya memoriku ini. Begitu saja. Atau mungkin.. baru saja aku terhipnotis, kesimpulanku pada akhirnya.
Sungguh! dangkalnya memoriku ini. Begitu saja. Atau mungkin.. baru saja aku terhipnotis, kesimpulanku pada akhirnya.
Kemudian melintas dalam kepala
sebuah tanya pada diri sendiri, “Sudah berapa buah?”. Pertanyaan ini lantas membuatku mencoba mengingat kembali dan memetakan persebaran kotak-kotak kecil yang
sudah terkumpul dalam lemari semesta itu, dan kali ini ditambah dengan kotak
penuh ketenangan yang misterius ini.
Kotak kali ini berwarna
cokelat, bertekstur, terbuat dari bahan semacam gelas namun tidak tembus pandang.
Goresan-goresan timbul di permukaannya; unik dan cantik. Namun dia tertutup
rapat dengan bilik-bilik yang saling berkaitan satu sama lain. Di atasnya
terbaca “keep it safely”. Kubukanya dengan
sangat hati-hati dan dengan cepatnya aku terhisap ke dalamnya.
.....
Aku terhisap, jatuh di tengah hamparan padang ilalang. Luas. Sangat luas. Hamparan ilalang yang menari diterpa angin yang mengalir
dan berbisik syahdu. Bunga-bunganya yang mengangguk-angguk menyapa dengan sopan.
Langit biru di atasnya dengan awan yang menggantung bak kapas-kapas yang
begitu lembut.
Aku berjalan.
Aku berjalan, mencoba
mencari tahu dibawa ke manakah aku oleh dunia dalam kotak yang satu ini. Aku berjalan lagi dan lagi, yang kutemukan adalah
sama. Hamparan ilalang. Aku berjalan lagi mengikutinya hingga tak terasa sinar
itu berubah menjadi keemasan dan senja datang dengan keanggunan sinarnya yang mengintip malu dari balik awan-awan. Kali ini bukan senja yang memerah. Kali
ini senja keemasan. Senja keemasan dalam kedamaian hamparan padang ilalang.
Damai.
Memang damai.
Namun pertanyaan dan rasa penasaran itu masih betaburan di langit-langit kepalaku akan tempat dalam kotak kaca berbilik-bilik ini.
Tak lama senja berpamitan
bersama awan-awan, datanglah malam dengan warna-warnanya. Venus bersinar terang
diantaranya. Bulan juga bersinar, bukan purnama namun tetap indah; dengan
kerendahan hatinya berbagi malam dengan bintang-bintang, mengijinkan bintang-bintang
bertebaran ikut menghiasi langit malam yang cerah tanpa awan.Kemudian aku melihatnya.
Sungai langit, kataku dalam hati. Senyumku merekah. Kurebahkan badanku diantara ilalang, mataku tak lepas darinya. Lama. Sangat lama. Hingga mata ini akhirnya tak cukup kuat untuk terjaga.
"Kotak ini tidak mudah ditembus....", bisikku pada diri sendiri.
Dan aku jatuh terlelap................