Cerita Jaman Bocah : si T

Sampai sekarang saya masih percaya bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama dalam mendapatkan apa yang mereka impikan, tidak melihat apa gender-nya, bagaimana kondisinya, dia keturunan siapa, apa agamanya, apa rasnya, yang terpenting di mampu bekerja dengan baik atau tidak. Sejak kapan mulai terbentuk pemahaman seperti itu tidak tahu, yang jelas sejak kecil sudah seperti itu, kalau bisa kenapa tidak. Maka dari itu kenapa saya tidak pernah setuju dengan adanya diskriminasi, bagiku semua orang adalah sama. Maka dari itu kenapa saya begitu respek dengan orang-orang yang bersemangat kerja dan sangat mencintai pekerjaannya. Maka dari itu kenapa saya jatuh cinta kepada orang-orang yang memiliki passion yang begitu besar (bukan yang berlebihan sehingga menjadi ambisius), tapi jatuh cinta pada ketulusannya (lihat dari mana? kalau disuruh menjelaskan susah untuk dijelaskan tapi saya bisa merasakan). Maka dari itu saya sangat senang sekali ketika adanya sekolah inklusi, dimana mereka yang tidak seberuntung anak-anak pada umumnya dari fisiknya (taulah ya..) memiliki kesempatan yang sama untuk sekolah di sekolah formal yang sama seperti anak-anak pada umumnya.


Teringat dulu waktu masih kecil sering sekali bertanya-tanya kenapa sih orang bisu tuna wicara, orang buta tuna netra, dll harus disekolahkan di SLB sih? apa memang begitu? kenapa setiap anak yang tidak seberuntung yang lain dibedakan? padahal kan mereka sama seperti orang yang biasa. Dulu hanya berpikir bahwa bagaimana ya rasanya dibedakan seperti itu. Kenapa ya mereka tidak sekolah di SD seperti saya dan teman-teman? Kebetulan saya masih SD waktu itu, belum berpikir bahwa mungkin karena faktor fasilitas yang mendukung mereka tidak tersedia di sekolah umum atau kesediaan gurunya atau kemungkinan kondisi penolakan dari lingkungan sekitar, yang terpikir dulu hanya mereka juga bisa berhitung kok, bisa membaca kok sama seperti kita, kenapa tidak sekolah umum... kenapa harus di SLB... (jaman dulu mana ada sekolah umum yang mau menerima anak-anak tersebut).


Cerita jaman saya masih bocah. Kebetulan tetanggaku (cukup jauh dari rumah sehingga tidak begitu kenal) juga termasuk anak difabel sebut saja T. Sekolahnya di SLB yang kalau dari rumah saya, masuk jalan raya ke utara terus (lumayan dekat *kalau naik motor). Ya karena anak kecil belum tau apa-apa, ada yang menganggap si T seperti orang gila, kalau ketemu T langsung lari seperti bertemu orang gila.


Suatu ketika saya dengan teman kecil saya itu bermain di lapangan di daerah rumah saya, kebetulan rumah T juga daerah yang dekat lapangan yang tempat kami bermain, sedang asik bermain, teman saya tersebut teriak, "eh ana T! ana T! mlayu! mlayu!",eh ada T! ada T! lari! lari! begitu katanya dan kemudian berlari sambil teriak-teriak, "si T edaan... si T edaan..", si T gilaa.. si T gilaa.. (tau lah ya nadanya bocah kalau ngejek temannya). Karena teman saya tiba-tiba lari kencang, saya reflek ikut lari sambil melihat ke belakang mencari-cari si T dimana kok tidak kelihatan, sesaat kemudian kelihatan dia jalan ke lapangan sambil bawa pelepah pisang yang tidak ada daunnya. Temanku itu larinya kencang, saya ketinggalan di belakang sambil sesekali melihat ke belakang, waktu itu saya bingung padahal si T biasa aja loh, gak ngejar kita lari juga, cuma main pelepah pisang, kok dibilang edan kenapa.


Waktu itu teman saya lari, jadi saya ikut lari. Kebetulan saya juga tidak banyak kenal anak-anak tetangga yang rumahnya agak jauh dari rumah saya juga, jadi ya tidak tahu. Baru tahu si T saja waktu di lapangan saat itu, maklum belum cukup lama pindah ke Jogja juga, jadi kenalnya cuma anak-anak sekitar rumah saja. Suatu ketika saya dan ibu saya kamis sore pergi ziarah ke makam simbah di pemakaman dekat lapangan. Karena dekat lapangan jadi jalan menuju ke sana melewati depan rumah si T, saya sedikit was-was juga kalau-kalau bertemu si T soalnya teman saya kemarin bilang edan (biasa bocah cilik..ditakut-takuti loh). Dan ketemulah si T sedang bermain bawah pohon depan rumahnya, metik-metik buah jambu air kecil sambil tertawa. Agak takut, kemudian saya menoleh, melihat sepintas sambil jalan. Saya bingung. Tidak ada yang aneh.


Masih bingung kemudian saya bertanya ke teman saya setelahnya, ketika kami bermain lagi bahwa kenapa kok dibilang edan. Dia jawabnya, "si T ki idiot yo", si T itu idiot ya. Dalam hati, saya gak nyaman sama kata idiot itu, gak enak didengar, lalu juga memang idiot itu gila? kok kalian pada ketakutan kayak ketemu orang gila. 


Pada suatu hari saya sedang bermain di jalanan depan rumah. Lewatlah si T ngebonceng di belakang, ibunya membawa motor, entah mau kemana. Waktu itu saya sempat mendengar si T seperti sedang cerita sambil tertawa dengan ibunya, tapi omongannya tidak jelas, tidak seperti orang-orang kalau bicara. Entah kapan kemudian saya tahu bahwa si T itu difabel. Saya berpikir dalam hati, oh pantas ngomongnya aneh, tapi kasihan, masak teman-teman bilang dia dengan istilah sekasar itu, lalu tiap ada si T pada lari seperti bertemu orang gila. Saya cuma bingung. Tiap teman-teman lari pergi kalau melihat si T, saya bingung. Harus begitu ya? kata saya dalam hati.


Tapi kenyataannya memang begitu, penolakan-penolakan ada di sekitar mereka, walaupun tidak semua. Dan..ketika masih kecil itu, saya merasa teman-teman saya itu keterlaluan. Mungkin dia mau main bersama atau mungkin cuma lewat saja ketika kejadian di lapangan itu. Tapi kenapa harus dihindari? tanyaku pada diri sendiri waktu itu. Kalau memang gak mau main ya biarkan saja, jangan dijadikan bahan olok-olokan.

..........................................................


Rasa Syukur

Jika untuk bisa bersyukur kita mengambil dari pendekatan "membandingkan nasib". Membandingkan nasib/kondisi kita dengan orang lain...

Powered by Blogger.