Damai dan Mendamaikan

Hari ini entah tahun ke berapa aku mengenal senja sejak pertama kau memukauku dengan kilauanmu itu. Memancar dengan sinar-sinar yang berpendar dibalik awan-awan. Melihatmu di atas persawahan baru yang masih berair dan pantulan sinarmu yang memberikan penerangan di setiap tahun kehadiran senja indahmu di barat sana.

Tak pernah bosan aku menulis tentang senja. Sebab kaulah yang pertama yang membuatku bersemangat untuk selalu menunggu kehadiran kau dan warna-warnamu. Dalam balutan awan-awan yang menggulung dan menari indah menyatu dengan bias-bias sinarmu.

Aku ingat ketika itu aku dalam perjalanan pulang dengan motorku. Kau menyapaku dengan cahaya merah muda di langit barat. Memintaku untuk mengeluarkan apapun yang ada dalam tasku yang dapat aku gunakan untuk mengabadikanmu.

Hebat.

Pesonamu memang hebat. Bukan hanya aku. Juga sepasang kekasih yang melewati jalan itu pun turut berhenti untuk hanya sekedar memandangmu kemudian mengambil sebagian keindahanmu melalui lensa kamera yang dibawanya. Ibu-ibu bersepeda pulang dari ladangnya, rombongan anak-anak kecil dengan mukena, sarung serta pecinya yang berangkat menuju guru ngajinya, seorang bapak yang menggiring bebek-bebek peliharaannya pulang ke kandangnya. Begitulah pemandangan yang aku saksikan sore itu lengkap dengan kamu yang indah menggantung di langit persawahan.

Banyak sekali cerita yang kau hadirkan untuk selalu aku tulis, serta nuansa damai dan bersahaja di antara persawahan yang selalu aku lewati setiap sorenya. Damai.

Damai dan mendamaikan.

Rasa Syukur

Jika untuk bisa bersyukur kita mengambil dari pendekatan "membandingkan nasib". Membandingkan nasib/kondisi kita dengan orang lain...

Powered by Blogger.