Via Lactea


Bus itu membawaku dari Bandung menuju Cibodas. Tempat aku memulai penyembuhan. Perjalanan panjang yang selalu menyembuhkan. Tak pernah terpikir sebelumnya akan membuatku merindu Cantigi sedemikian ini.

Tuhan memang tak pernah main-main dalam membuat sebuah pertemuan. Di atas Gede, pohon cantigi dan konstelasi bintang-bintang. Di situlah aku mengenalmu melalui kamera dan konstelasi bintang-bintang. Via lactea, konstelasi bintang-bintang yang membentuk sungai langit yang sering disebut milky way. Bintang-bintang yang tidak pernah membuatku tidak jatuh cinta. Sungai langit yang membawaku melihat semestaNya yang indah. Ya. Di situlah aku mulai mengenalmu.

Bukan. Aku belum mengenalmu. Kami hanya mendaki dalam rombongan yang sama. Aku mendaki dalam duniaku sendiri, terlalu sibuk menikmati alam dan sungai langit yang memukau di balik pohon-pohon cantigi. Kau pun mendaki dalam duniamu sendiri, terlalu sibuk dengan kamera yang selalu kau keluarkan untuk menyimpan setiap detail perjalanan.

Aku mungkin menyesal karena dalam penyembuhan panjang, kita terlalu larut dalam dunia ketakjuban kita masing-masing, melewatkan banyak waktu yang sebenarnya dapat kita isi dengan saling mengenal, dengan berjibun cerita, dengan saling bercanda gurau, namun tidak demikian. Tidak ada banyak cerita. Tidak banyak yang bisa diceritakan tentangmu, kecuali kau dan kameramu. Hanya sesekali tersenyum dan mengungkapkan rasa takjub yang membuncah oleh alam Gede yang begitu menawan. Tapi  mungkin memang begitulah Tuhan mengatur pertemuan kita. Atau mungkin begitulah cara Tuhan, mengatur pertemuan yang memberikan kerinduan mendalam pada alam Gede. Cara Tuhan untuk membuatku sekali lagi menyapa Gede suatu saat nanti. Gede yang selalu menawan.

Aku masih ingat dalam perjalanan antara pos kandang badak menuju puncak. Di bawah cantigi kau bilang, "Gede memang tidak pernah membuatku bosan berapa kalipun aku mendakinya". Kau memandang sungai langit sama sepertiku. Sesekali aku mencoba melihatmu dalam kegelapan. Tidak terlihat apapun kecuali ekspresi ketakjuban yang sama sepertiku ketika itu. Cantigi dan sungai langit. Mungkin hal itu juga yang aku akan katakan saat aku mendaki Gede kedua kalinya nanti. Sama sepertimu yang selalu takjub mencinta Gede dan bintang-bintangnya.

Masih ingat kau menunjukkan hasil jepretanmu dengan malu-malu ketika aku bertanya tentang sungai langit. Kau memperlihatkannya dan bilang, "Tapi gambarnya tidak bisa fokus". Entah bagaimanapun hasilnya. Sungai langit dalam kameramu sudah sangat cukup membuatku teramat senang, mengetahui bahwa kau pun begitu menyukai sungai langit sama sepertiku. Aku tahu betapa dinginnya puncak Gede saat malam, di saat yang lain lebih memilih untuk mengistirahatkan badan dan menunggu pagi dalam tenda yang hangat. Kau memilih sebaliknya dengan kameramu.

Memang sebentar. Memang hanya sepotong-sepotong. Sepotong-sepotong yang masih tersimpan utuh. Seperti kamera dan alam. Kamera yang menyimpan potongan alam. Dalam sepotong-sepotong foto yang menyimpan kenangan. Menciptakan rindu seperti petrichor. Aroma istimewa yang semesta berikan ketika terjadi pertemuan antara hujan dengan tanah. Hujan... tanah.... dan petrichor.

Tak banyak cerita tentangmu karena kita pun tak pernah saling bercerita banyak. Bahkan kita saling memperkenalkan nama pun sekian menit sebelum perpisahan. Aku kembali pulang ke timur dan kau melanjutkan hidupmu di barat. Ah, andai kita tidak melewatkan banyak waktu untuk dapat saling bercerita, mungkin kita bisa saling bertukar ketakjuban yang sama akan langit dan bintang-bintang. Terimakasih.. karena Tuhan memberi kesempatan mengenalmu melalui Gede, cantigi dan sungai langit.


kepada seorang teman yang aku kenal di pendakian Gede, foto milky way-nya sangat menginspirasi untuk ditulis. Via lactea a.k.a milky way.. suka sekali ^.^ semoga suatu hari berkesempatan bisa mendaki bersama lagi dalam pendakian lain.

Rasa Syukur

Jika untuk bisa bersyukur kita mengambil dari pendekatan "membandingkan nasib". Membandingkan nasib/kondisi kita dengan orang lain...

Powered by Blogger.