Si Tamu Batin

Sebagai manusia biasa semestinya pernah merasakan kedatangan emosi-emosi yang memunculkan rasa tidak nyaman pada batin kita. Rasa sedih, takut, kecewa, tertolak, bahkan senang pun bagi sebagian orang bisa jadi akan membuat tidak nyaman dalam sudut pandang dan kondisi tertentu yang dialami.

Seperti yang sering dibilang orang-orang, "Namanya juga manusia."

Spesifikasi dari Tuhan, manusia memang diciptakan sedemian rupa sehingga kita dapat merasakan berbagai emosi-emosi yang ada.

***


Ketika emosi-emosi yang membuat batin tidak nyaman muncul, tentu saja, rasanya tidak akan nyaman.

 Lalu,

Oleh karena ketidaknyamanan dalam batin yang kita rasakan, pada layer paling pertama, sebagai bentuk reaksi alami, defence mechanism kita akan aktif, kita akan cenderung melakukan penyangkalan atau melakukan penolakan terlebih dahulu, sebelum muncul reaksi di layer kedua, ketiga dan seterusnya setelah dikombinasi dengan variabel lain.

Karena secara alami, pada dasarnya setiap orang menginginkan kondisi batinnya "secure" (dalam bentuk apapun).

Namun,

Semakin ditolak, semakin disangkal, emosi tersebut justru akan terasa semakin kuat dan kita akan merasa semakin tidak nyaman.

We'll feel more pain inside.

Semakin berusaha untuk menutup pintu, semakin kuat rasanya emosi-emosi mengetuk-ngetuk. Dan semakin kita terganggu dengan suaranya.

Kita sudah melakukan berbagai cara untuk menghilangkan emosi yang datang tersebut, namun mereka tetap di tempatnya.

***


"Bagaimana ini??" katamu kemudian pada diri sendiri.

"Aku sudah bermain sepuasnya, aku sudah mendengarkan musik, aku sudah menonton film, dan lain-lain."

"Dia masih saja tidak beranjak. Tetap saja di depan pintu itu. Tidak hilang."

Kemudian,

Sampai dimana kita akan berada di suatu titik kita 'merasa' tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk membuatnya pergi. Merasa tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk membuatnya hilang.

Energi kita terasa sudah habis hanya untuk membuatnya pergi dengan cara menyangkal dan menolaknya.

Lelah. Kita akan merasa lelah.

***


Fase selanjutnya, kita akan "diam" karena energi rasanya sudah terkuras untuk beradu dengan emosi dan rasa tidak nyaman tersebut.

"Terserah, kalian (emosi) bebas ingin apa kepadaku," katamu.

Dan pada akhirnya membiarkannya saja. Datang, pergi, keluar, masuk.

Menyerah.

Bukan,

Tepatnya belajar menerima keberadaannya, karena ditolak pun tidak merubah apa-apa.


Kau tau apa yang terjadi?

Emosi-emosi itu justru semakin lama, semakin memudar.

Lalu perlahan hilang dengan sendirinya.


Kenapa bisa?

Sama dengan kita. Mereka hanya ingin

diterima :)

keberadaannya.





Rasa Syukur

Jika untuk bisa bersyukur kita mengambil dari pendekatan "membandingkan nasib". Membandingkan nasib/kondisi kita dengan orang lain...

Powered by Blogger.