Bocah Penjual Obat dan Pendongeng

Tak jauh dari desa di lereng gunung, tinggal lah seorang anak di suatu pondok kecil di atas bukit di tengah hutan. Dari halaman rumahnya ia bisa melihat gunung yang menjulang dan rumah-rumah pedesaan lereng gunung.

Anak tersebut dikenal sebagai anak yang pendiam dan tidak pernah menunjukkan emosi apapun dari wajahnya kepada orang-orang yang datang ke rumahnya. Dia mengenal hampir seluruh orang desa, orang-orang desa lereng gunung pun mengenalnya, namun tidak ada satu pun dari orang desa yang mengenalnya lebih jauh lagi. Anak misterius tersebut tidak pernah membuka percakapan dengan mereka sekalipun, bahkan tidak ada yang pernah tahu siapa nama anak tersebut, asalnya, dan sejak kapan dia tinggal di atas bukit itu.

Orang-orang desa memberinya julukan bocah penjual obat, karena dari sanalah orang-orang desa mendapatkan obat penyembuh ajaib untuk sakitnya. Orang-orang desa lereng gunung hanya datang kepadanya ketika harus berkonsultasi akan sakitnya dan anak kecil itu akan meramu obat penyembuh ajaib untuk meredakan sakitnya. Ketika sudah mendapatkan ramuan obat ajaibnya, orang-orang kemudian pergi dan hanya datang kembali jika merasakan sakit.

Rumah bocah penjual obat selalu ramai di siang hari. Orang-orang mengantri dengan berbagai keluhannya. Tak jarang orang-orang desa itu bertukar cerita hidup satu sama lain. Bocah itu meramu dengan hening, sesekali melihat orang-orang yang sedang bercakap-cakap, lalu kembali meracik obat ajaibnya.

Setiap sore menjelang malam bocah penjual obat tersebut akan menutup pagar rumahnya, menyeduh secangkir teh herbal, duduk di atas bangku kayunya, dan memandangi rumah-rumah desa lereng gunung. Hari mulai hening, lampu-lampu rumah desa mulai menyala satu per satu menggantikan cahaya sore yang ditelan malam. Langit sore semakin meredup, bintang-binang tak lama muncul bergantungan di langit malam. Itulah pemandangan setiap sorenya di rumahnya.

Ia meneguk teh dalam cangkirnya, memejamkan mata kecilnya sambil menghela napas panjang. Hari yang melelahkan atau menyenangkan? tanyanya dalam hati. Terlalu melelahkan kemudian ia menghela napas? atau terlalu menyenangkan hingga ia tak bisa tertidur ataupun tak pernah bermimpi dalam setiap tidurnya ketika akhirnya ia bisa tertidur?

Kepalanya dipenuhi tanda tanya bersayap yang terbang berputar-putar.

...


"Kau sedang bosan?"
Tiba-tiba suara terdengar memecah keheningan.

Bocah itu membuka matanya.

Sosok itu muncul kembali. Sosok yang mengenalkan dirinya sebagai pendongeng. Pendongeng itu selalu bilang kepadanya bahwa ia akan membantunya masuk ke sebuah ruangan besar yang penuh bintang-bintang. Tapi tetap saja si bocah penjual obat tidak mengerti apa yang pendongeng tersebut maksudkan.

"Kau tak bisa membuka pintu itu lagi, Bocah?" tanya si pendongeng.

Bocah penjual obat tak menghiraukannya, tak menjawab apapun dan kembali meneguk teh dalam cangkirnya yang kini mulai mendingin.

Si pendongeng memandang ke atas dan menunjuk bintang-bintang, "Itu. Aku bisa membantumu," katanya dengan penuh senyum riang.

"Kau masih tidak mau bercakap denganku?" tanyanya pada bocah penjual obat.

"Baiklah kalau kau memang lebih suka diam, aku saja yang akan bercerita padamu.", Si pendongeng mulai menceritakan dongeng-dongengnya seperti malam-malam sebelumnya dan malam-malam sebelum sebelumnya juga.

"Kau mau apa dariku?" tanya bocah penjual obat.

Si pendongeng menghentikan dongengnya, senyumnya melebar, akhirnya ia bisa mendengar suara bocah penjual obat.

"Mendengar suaramu. Hahahaha," canda pendongeng itu.

Bocah penjual obat kembali diam.

"Bicaralah, aku bukan pembeli obatmu. Kau bisa menceritakan banyak hal kepadaku," kata si pendongeng kepada bocah itu sambil tersenyum.

Bocah penjual obat memandang si pendongeng di depannya; mahluk unik dengan topi dan dandanan anehnya itu. Ia memandang dengan hati-hati dan cukup lama, kemudian akhirnya pelan-pelan ia membuka mulutnya.

...

Bocah itu mulai bercerita. Ceritanya begitu panjang yang membuatnya akhirnya berhenti menghiraukan semua yang ada di sekelilingnya, seolah waktu berhenti, dan aktivitas-aktivitas di malam itu terhenti; kerlip lampu rumah pedesaan, anak kecil bermain kunang-kunang di halaman rumah mereka, bapak tua yang kedinginan di tengah malam, keluarga yang menyantap makan malamnya, dan semua aktivitas malam itu. Semua terhenti, seperti adegan film yang sedang di-pause. Dia menceritakan semua hal yang selama ini ia simpan kepada pendongeng.

...

Tak lama setelah itu, ia kemudian tersadar bahwa ia tidak lagi duduk di bangku kayu samping rumahnya. Ia tidak melihat gunung dan rumah-rumah pedesaan di bawahnya, melainkan hanya angkasa luas dengan bintang-bintang.

"Dimana aku?" tanya bocah penjual obat.

"Semesta," jawab si pendongeng, "Sekarang akhirnya kau bisa membuka pintu itu," ia menunjuk bintang-bintang dan tersenyum.

Entah kenapa bocah penjual obat tiba-tiba mulai merasakan hatinya begitu sedih, sedih sekali. Dia pun menangis sekencang-kencangnya. Sungai itu akhirnya mengalir deras tak terbendung, terbang melayang di angkasa dan berubah menjadi bintang-bintang.

Bocah penjual obat menangis hingga sedihnya menghilang. Semakin iya mengeluarkan tangis, ruangan itu semakin indah dipenuhi bintang-bintang yang terang.

Di ujung tangisnya bocah penjual obat mendengar suara si pendongeng, "Tugasku selesai malam ini. Aku senang. Semoga kita tidak bertemu lagi, Bocah. Hahahaha~" tawa kerasnya makin kecil, mengecil dan menghilang.

....

Bocah penjual obat mengusap pipinya yang basah. Dan membuka matanya.

"Pagi?" tanyanya dalam hati terheran-heran.

Ia menemukan dirinya terbaring. Terbangun di atas bangku kayu samping rumahnya, tempat ia duduk tadi malam. Cangkir tehnya masih ada di atas meja kecil di sampingnya. Ia kembali melihat gunung dan rumah-rumah pedesaan lereng gunung.

Bocah penjual obat akhirnya bermimpi dalam tidurnya setelah sekian lama.


Rasa Syukur

Jika untuk bisa bersyukur kita mengambil dari pendekatan "membandingkan nasib". Membandingkan nasib/kondisi kita dengan orang lain...

Powered by Blogger.