Menjemput Fajar

Kembali bersandar. Dalam lempengan logam yang melaju. Menjauh dari senja yang habis terenggut malam. Hitam. Pekat. Kelam. Dengan sendunya, tak rela meninggalkan senja sendirian di belakang. Kemerahan yang kini menghitam.

Suara itu menderu-deru. Menyeruak. Mulanya senyap menjadi riuh, memainkan musik perjalanan panjang menjemput fajar.

Wajah-wajah itu terlihat lelah. Sesak. Bosan.
Wajah-wajah itu terlihat riang. Tawanya membelah di sepanjang lorong yang sesak.
Wajah-wajah itu tak kuasa menahan kantuk yang hadir menyingsing diantara kelopak-kelopak matanya.

Banyak wajah, banyak rupa, banyak rasa, banyak suara, banyak, banyak, dan banyak. Terlalu banyak jika harus dideskripsikan. Terlalu banyak jika harus dijelaskan, ditulis, diungkap, diceritakan.

Sudahlah!

Yang pasti kita semua di sini sama-sama menjemput fajar. Di sana. Fajar keemasan yang sinarnya ke segala arah. Membelah gelap di sepanjang riuh gemuruh dan kepenuhan yang kini sedang melanda.

Jogja - Surabaya, 24 Juli 2016

Rasa Syukur

Jika untuk bisa bersyukur kita mengambil dari pendekatan "membandingkan nasib". Membandingkan nasib/kondisi kita dengan orang lain...

Powered by Blogger.