Senyap

Bunga-bunga tulip merah, ungu, kuning, biru menghiasi di kanan dan kiri jalanan. Tulip-tulip, kanopi-kanopi kecil, air mancur, dan bunga-bunga yang menghiasi tiang-tiang bercat putih di depan sana. Aku terus berjalan menuju tiang-tiang menjulang itu. Derap langkah mengiringi, melintasi jalanan yang tersusun oleh batu-batu putih mungil.


Angin berhembus sepoi menyejukkan. Membuat sekeliling terasa damai. Gurat senyum menyimpul kecil menghiasi wajah, merasakan kedamaian yang dihadirkan oleh sekitar. Tak lama semilir sepoi itu semakin mengencang dan membawa awan hitam di atas taman bunga tersebut. Hawa dingin merambati sekujur tubuh. Langit berubah menjadi gelap. Bunga-bunga menunduk suram dan perlahan layu. Tulip yang tadinya berwarna perlahan menjadi kelabu, layu, menyatu dengan tanah dan puuff.. hilang begitu saja. Akar-akar raksasa bermunculan dari dalam tanah, bergerak meliuk-liuk menyeramkan seakan ingin menggapai kaki dan menyeretku masuk ke dalam. Waktu membuatnya semakin liar, seperti ingin memakan dan menelan hidup-hidup. Seketika jantungku tidak karuan.


Aku berlari sekencang-kencangnya.


Menembus tanah lapang yang kini hitam kelabu. Langit, tanah dan bahkan angin pun kelabu. Sementara akar-akar itu bergerak meliuk-liuk semakin buas.


Aku terus berlari tanpa sempat menengok ke belakang. Masuk ke dalam hutan dengan pohon-pohon tak berdaun. Aku berhenti berlari. Akar-akar itu pun berhenti mengejar. Aku tertunduk. Jantungku masih berdegup kencang. Napasku masih tersengal. Mataku masih merah. Pandanganku masih kabur. Kudengar suara napas dan degup jantung yang bersaut-sautan. Sisa-sisa ketakutan masih terasa, membayangkan akar-akar yang meliuk-liuk liar seperti ingin sekali menarikku hingga entah ke mana.


Aku terdiam, tertunduk lelah, bersandar di salah satu pohon di tepian jalan setapak tengah hutan. Sepi mulai terasa, gelap mulai mencekam.


Meremang bulu kuduk di sekujur tubuh. Angin berhembus dingin. Aku berdiri dari peristirahatan dan mulai berjalan menembus hutan. Hutan yang senyap.


Hari menjadi malam dan masih kelabu. Ku tengadahkan kepala ke atas mencari cahaya bulan. Awan kelabu masih menyelimuti langit malam. Menghalangi cahaya bulan untuk menyapa mahluk-mahluk malam yang masih terjaga.


Aku terus berjalan menyusuri jalan setapak yang samar-samar dalam penglihatan, tak ada yang mengetahui ujungnya akan berakhir di mana atau justru hanya akan membawaku berputar-putar dalam kegelapan.


Badan yang mulai lelah dan mata yang mulai terkatup-katup akan kantuk membuatku terseok-seok dalam langkah yang sempoyongan.


Aku terus berjalan.


Tiba-tiba terlintas sebuah kata "pandangan". Ya. Aku harus memperluas pandangan.


Aku berhenti sekali lagi. Kali ini diam dan senyap. Ku katupkan kelopak mataku dan menyatu dengan senyap. Mendengarkan dengan seksama suara-suara yang memberikan pertanda. Lalu aku mulai berjalan. Tak ku ikuti lagi jalan setapak. Kali ini ku ikuti suara itu dan terus berjalan menujunya. Burung-burung hantu yang hinggap di pepohonan memandangiku dengan mata yang melotot lebar. Mata-mata merah di balik kegelapan mengawasiku tanpa berkedip dengan seringai-seringai yang menakutkan. Aku terus berjalan. Menuju suara.


Derap langkah semakin memelan dan suara tersebut semakin mengencang. Hawa dingin perlahan menghilang. Aku menghentikan langkahku. Aku berhenti dan membuka mataku.


Aku terdiam. Mengedip-ngedipkan sekali lagi mataku, mengumpulkan kesadaran untuk melihat apa yang ada di depan.

................................................................

Aku terbelalak.


Rasa Syukur

Jika untuk bisa bersyukur kita mengambil dari pendekatan "membandingkan nasib". Membandingkan nasib/kondisi kita dengan orang lain...

Powered by Blogger.